Dengan semakin merebaknya kegiatan dakwah, istilah (ikhwan) dan (akhwat) semakin sering dipergunakan oleh para aktifis Islam. Istilah (ikhwan) merujuk pada para pemuda Islam, sementara (akhwat) merujuk pada kaum pemudinya. Makna dari kedua kata ini sama, yaitu (saudara). Hal ini menunjukkan aplikasi dari ajaran Islam yang menyebutkan bahwa semua Muslim itu bersaudara, tidak peduli bangsa, ras, bahasa, status sosial, dan perbedaan-perbedaan lainnya.
Sekaya apa pun seorang Muslim, sehebat apa pun dia, secerdas apa pun otaknya, sekekar apa pun tubuhnya, dan biarpun dia adalah orang yang amat dihormati di tengah-tengah kaumnya, seorang Muslim adalah seorang Muslim. Mereka sama-sama menundukkan seluruh bagian dari kepala hingga punggungnya ke arah kiblat ketika ruku'. Segala kehormatan harus ditundukkan dalam keadaan sehina-hinanya di hadapan Allah, dan setiap Muslim sama-sama harus menempelkan dahinya ke tempat terendah ketika bersujud. Tidak tanggung-tanggung, proses (menghinakan diri sendiri di hadapan Allah) ini dilakukan minimal sampai 34 kali dalam sehari semalam.
Apa yang membuat kita merasa berbeda dengan orang lain? Sama-sama memiliki tubuh yang dilengkapi dengan berbagai kelemahan, sama-sama memiliki kecenderungan akan kasih sayang, sama-sama mengenal rasa takut dan kesedihan, sama-sama bisa mati baik karena kedinginan maupun kepanasan, dan sama-sama akan dikubur di dalam perut bumi pada akhirnya, hingga akhirnya tulang-belulang ini pun dilupakan oleh sejarah, bahkan oleh anak keturunan sendiri. Sedemikian luas hamparan bumi yang hendak kita kuasai, namun pada akhirnya yang kita butuhkan hanyalah sepetak tanah untuk mengubur jasad ini. Apa yang membedakan kita dengan manusia yang lainnya?
Abdullah bin Mas’ud ra. pernah diejek karena betisnya yang kecil. Sekonyong-konyong Rasulullah saw. datang dan menegaskan bahwa kedua betis yang kurus itu di sisi Allah lebih berat daripada bukit Uhud. Bilal bin Rabah ra. adalah mantan budak yang berkulit hitam legam. Akan tetapi, siapakah yang berani menyepelekannya? Ia bahkan ragu-ragu untuk menyunting seorang perempuan. Padahal ketika lamaran disampaikan, perempuan itu sampai menangis lantaran merasa dirinya tidak cukup pantas untuk mendampingi seorang saleh sekaliber sang mantan budak. Apa yang membuat kita merasa lebih baik daripada saudara kita?
Siapakah yang bisa membayangkan dakwah Rasulullah saw. tanpa Umar bin Khattab ra.? Salah satu orang terkeji di kota Mekkah sekonyong-konyong menyatakan dirinya masuk Islam, menggegerkan seluruh kabilah. Jika tadinya para sahabat menyembunyikan status keislaman mereka, maka kemudian datanglah Umar ra. yang tiba-tiba saja memproklamirkan keislamannya di tengah-tengah kota Mekkah. Pengeroyokan tidak dapat terhindarkan, dan akhirnya beliau berkelahi selama berjam-jam dengan para jagoan yang memusuhi Islam. Tidak ada yang bisa membayangkan bagaimana Umar ra. yang dulunya begitu bengis bisa berubah menjadi salah satu benteng umat Islam yang terkuat.
Kini, penggunaan kata (ikhwan) dan (akhwat) sudah mencapai level yang sangat memprihatinkan, hingga membuat umat ini menjadi terpecah-belah. Seolah-olah ada muslim yang tidak ikhwan dan ada muslimah yang bukan akhwat. Seolah-olah kita menghakimi keadaan mereka sekarang dan mengklaim bahwa mereka selamanya tidak akan menjadi seperti kita. Yang lebih parah lagi, seolah-olah kita menjadikan diri kita sendiri sebagai sebuah standar bagi kebenaran dalam beragama.
Kalau kita kembalikan (ikhwan) dan (akhwat) pada pengertian dasarnya, maka menyebut seseorang sebagai (bukan ikhwan) atau (bukan akhwat) sebenarnya adalah menolak persaudaraan dengan mereka. Dengan demikian, kita menyatakan bahwa si fulan bukanlah saudara kita, dan si fulanah bukanlah saudari kita. Dengan sendirinya, kita telah menganggap mereka kafir, karena orang-orang kafir ( meskipun saudara sekandung ) bukanlah saudara kita, sementara orang-orang Muslim ( meskipun tidak ada hubungan darah ) adalah saudara-saudara kita. Jika kita mengatakan si fulan bukanlah saudara kita, maka telah putuslah silaturahim saat itu juga.
Berbicara soal silaturahim, perlu ditegaskan kembali bahwa hal ini adalah salah satu ciri khas dari ajaran Islam. Sesama Muslim tidak hanya harus kompak atau solider. Bahkan silaturahim memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekedar kompak. (Silah) artinya (ikatan), dan (rahim) adalah (kasih sayang). Umat Islam tidak cukup sekedar saling menghormati dan mengenal dengan baik, akan tetapi Allah menuntut adanya suatu hubungan yang jauh lebih kuat lagi daripada itu, yaitu kasih sayang.
Kasih sayang menuntut sesuatu yang lebih besar daripada sekedar menjaga hubungan baik. Seorang ibu tanpa pikir panjang bisa menerjang lautan api demi anaknya yang tengah terancam keselamatannya. Seorang ayah bisa menjadikan dirinya tameng untuk menahan butir-butir peluru yang akan menerjang tubuh anaknya. Demikianlah hubungan yang dituntut dalam sebuah silaturahim, tidak lebih, dan jelas tidak kurang.
Maka jika seorang saudara kita tergelincir dalam kemaksiatan, wajarkah jika seketika itu juga kita lupa akan kasih sayang kita padanya? Jika mereka melakukan kesalahan, bukankah tugas seorang saudara untuk mengembalikannya ke jalan yang benar? Apakah kita bisa begitu saja melepas tanggung jawab dan menyatakan mereka sebagai (bukan saudara kita)?
Pantaskah kita menyebut seorang Muslim ( Muslim mana pun ) sebagai (bukan ikhwan) dan seorang Muslimah ( Muslimah mana pun ) sebagai (bukan akhwat)? Mungkin hidup mereka dipenuhi dengan kejahilan sekarang, tapi bukankah Umar bin Khattab ra. dulunya juga demikian? Apa yang membuat kita yakin bahwa masa depannya akan sekelam masa lalunya? Mengapa kita harus menghakimi keadaannya sekarang, sementara hanya Allah-lah yang tahu urusan masa depan manusia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar